Kamis, 02 Agustus 2012

Hanya Allah yang Berhak Disembah

بسم الله الرحمن الرحيم


Hanya Allah yang Berhak Disembah
Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, ketika kita membaca lembaran Al Qur’an, maka perintah pertama yang akan kita dapatkan adalah perintah untuk menyembah kepada Allah Ta’ala semata. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah [2] : 21-22). 
Dalam ayat ini Allah Ta’ala berdalil ketika memerintahkan manusia agar beribadah kepada-Nya semata, yaitu karena Allah-lah satu-satunya Dzat yang telah memelihara mereka dengan berbagai jenis kenikmatan, yang telah menciptakan mereka setelah sebelumnya tidak ada, dan memberikan nikmat kepada mereka dengan nikmat dzahir maupun batin. Sehingga Allah pun melarang manusia untuk mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah dari para makhluk-Nya, sehingga mereka menyembahnya sebagaimana menyembah Allah dan mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Padahal sesembahan-sesembahan selain Allah itu juga makhluk yang diberi rizki dan dipelihara oleh Allah Ta’ala, tidak memiliki sedikit pun di langit maupun di bumi, dan mereka juga tidak mampu mendatangkan manfaat atau menolak bahaya. (Lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 45)

Nabi Muhammad Tidak Berhak untuk Disembah
Meskipun sudah sedemikian jelasnya petunjuk dari Allah Ta’ala, namun ternyata masih banyak kita jumpai kaum muslimin yang bersikap berlebih-lebihan terhadap sebagian dari para makhluk-Nya. Salah satunya adalah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengagungkan Nabi dengan melebihi batas, sampai-sampai mengangkatnya kepada derajat yang sejajar dengan Allah, yang memiliki sifat-sifat rububiyyah seperti mencipta, mengurus makhluk, mendatangkan manfaat, dan menolak bahaya.

Di antara bukti sikap melampaui batas tersebut adalah kegemaran sebagian kaum muslimin untuk melantunkan shalawat yang terkenal dengan nama Shalawat Nariyah. Shalawat ini sangat populer di beberapa daerah. Bahkan di sebagian masjid masih banyak kita dengar orang yang membaca shalawat Nariyah setelah adzan dan menanti iqomat dengan pengeras suara. Padahal entah disadari atau pun tidak, shalawat Nariyah tersebut ternyata mengandung kalimat syirik. Berikut ini adalah terjemahan shalawat tersebut secara lengkap.

“Wahai Allah! Curahkanlah rahmat yang sempurna dan kesejahteraan yang sempurna kepada sayyidina Muhammad sebanyak jumlah kedipan mata, hembusan nafas, dan sebanyak seluruh apa yang Engkau ketahui. Yang dengannya segala kesulitan menjadi lepas (segala kesulitan akan terselesaikan, bukan karena Allah tetapi karena Rasulullah, pen.), segala kesedihan akan lenyap karenanya (jadi bukan karena pertolongan, rahmat, atau karunia Allah, pen.), dan dengannya (Rasulullah) segala cita-cita tercapai, dengannya (Rasulullah) pula segala kebutuhan akan terpenuhi, dan dengan wajahnya (Rasulullah) yang mulia awan akan berubah menjadi hujan”.

Demikianlah sikap yang berlebih-lebihan sebagian kaum muslimin kepada Rasulullah. Mereka menyifati Rasulullah dengan sifat-sifat yang hanya berhak dimiliki oleh Allah Ta’ala. Apakah mereka lupa kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,Janganlah kaliah berlebih-lebihan memuji (menyanjung) diriku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji Ibnu Maryam (Isa). Sesungguhnya aku adalah hamba, maka katakanlah,’Hamba Allah dan Rasul-Nya’“ (HR. Bukhari)?? Maksud berlebih-lebihan dalam memuji adalah tidak menyembah Muhammad, sebagaimana orang-orang Nasrani menyembah Isa Ibnu Maryam, sehingga mereka terjerumus kepada kesyirikan. Rasulullah tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya serta tidak pula mengetahui hal yang ghaib.

Seandainya Rasulullah memiliki kuasa untuk mendatangkan manfaat atau menolak bahaya, tentu Rasulullah tidak akan membiarkan pamannya yang sangat beliau cintai –yaitu Abu Thalib- meninggal dalam status sebagai orang kafir dan kekal di neraka. Dakwah beliau juga tidak akan mendapat rintangan yang bertubi-tubi dari masyarakat kafir Quraisy dan tidak perlu hijrah ke Madinah, kalau memang beliau mampu melepaskan segala kesulitan dan kesedihan. Kalau Rasulullah adalah sebagaimana yang disifatkan dalam shalawat itu, tentu Rasulullah tidak akan terluka di bagian kepala dan gigi taringnya pada waktu perang Uhud (HR. Bukhari dan Muslim). Dan apabila Rasulullah mampu mendatangkan hujan, mengapa sampai terjadi kekeringan di zaman Rasulullah, sehingga beliau pun melaksanakan shalat istisqa’ (shalat minta hujan) di tanah lapang? (HR. Bukhari dan Muslim) Hendaklah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam menyanjung Rasulullah, bahkan sampai berdoa meminta kepada Rasulullah memikirkan hal ini. Semoga Allah mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua.

Para Wali Tidak Berhak untuk Disembah
Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, pada masa sekarang ini banyak kita jumpai kaum muslimin yang di satu sisi, mereka menunaikan shalat, berpuasa, dan menjalankan seluruh rukun Islam. Namun di sisi lain, ia juga terbiasa berdoa kepada selain Allah, bertawassul kepada para wali, dan meminta kemuliaan dengan mereka. Mereka juga memiliki keyakinan bahwa para wali bisa mendatangkan manfaat atau menolak bahaya. Marilah kita memperhatikan kondisi makam para wali di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Banyak di antara peziarah yang meminta berkah kepada kubur para wali, berkeliling di sekitarnya, bernadzar untuknya, dan menjadikan mereka sebagai perantara kepada Allah Ta’ala.

Padahal Allah Ta’ala telah mengingkari anggapan mereka itu dalam firman-Nya yang artinya,”Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatu apapun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan manusia. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan” (QS. Al A’raf [7] : 191-192). Kalimat tanya dalam ayat tersebut bertujuan untuk mengingkari perbuatan kaum musyrikin. Maksudnya, perbuatan syirik tersebut adalah kebatilan. Buktinya, para wali itu tidak mampu menciptakan sesuatu apa pun. Mereka adalah makhluk yang lemah. Adapun yang berhak atas berbagai jenis ibadah adalah Yang Maha mencipta, yaitu Allah Ta’ala. Lalu bagaimana mungkin sesuatu yang lemah –yaitu para wali yang telah meninggal- disamakan dengan Yang Maha kuasa atas segala sesuatu –yaitu Allah Ta’ala-? Bagaimana mungkin makhluk disamakan dengan Khalik (Pencipta)? Maka seluruh sesembahan dengan segala jenisnya, baik itu batu, pohon, makam para wali, malaikat, para Nabi, atau orang-orang shalih semuanya memiliki sifat ini, yaitu tidak mampu menciptakan sesuatu apapun. 

Para wali yang telah meninggal dan dimakamkan dalam kubur itu juga terbukti tidak mampu menyelamatkan diri mereka dari kematian dan juga dari alam kubur dengan segala yang ada di dalamnya. Mereka disibukkan dengan urusan dirinya sendiri, bisa jadi mereka sedang diadzab atau mendapat nikmat. Mereka juga tidak mampu mendengar doa para pemujanya. Buktinya lagi pada zaman Rasulullah, seandainya sesembahan kaum musyrik Quraisy yang merupakan para wali yang shalih –seperti Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, maupun Nasr- itu mampu menolong para penyembahnya, maka kaum musyrikin tidak akan kalah dalam perang Badar, perang Ahzab, dan mereka juga tidak akan menyerah pada waktu Fathul Makkah. Adapun kaum mukminin, mereka mendapatkan pertolongan dari Allah Ta’ala. Padahal jumlah kaum muslimin pada waktu perang Badar hanya berjumlah 300-an orang dan itu pun tidak membawa bekal dan senjata yang cukup. Sedangkan kaum musyrikin berjumlah lebih dari seribu dengan senjata yang lengkap. Maka apakah sesembahan mereka dari kalangan para wali dan orang-orang shalih itu mampu menolong mereka? Sekali-kali tidak! Hendaklah hal ini direnungkan oleh para penyembah kubur wali dan orang-orang shalih di Indonesia dengan pikiran yang jernih.

Pada Hari Kiamat, Sesembahan Mereka Itu akan Berlepas Diri dari Para Penyembahnya
Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan orang-orang yang mengikuti berkata,’Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami’. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi penyesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS. Al Baqarah [2] : 166-167].

Ini adalah berita dari Allah Ta’ala tentang kondisi kaum musyrikin pada hari kiamat agar mereka bertaubat kepada Allah Ta’ala. Merupakan rahmat Allah yang telah memberitakan kepada kita semua bahwa barangsiapa yang menyembah selain Allah, maka sesembahannya itu akan berlepas diri dari mereka pada hari kiamat. Maka perhatikanlah peringatan Allah ini. Karena ketika Allah –Yang Maha mengetahui- memberitakan sesuatu, maka sesuatu itu pasti terjadi. Adapun ucapan para penyembah kubur wali yang mengajak untuk beribadah kepada para wali, dengan mengatakan,Di makam mereka ada berkah, di makam mereka ada ini, ada itu …”, maka semua itu hanyalah bohong semata. Jangan membenarkan dan mempercayai ucapan mereka.

Kita memohon kepada Allah agar memperbaiki keadaan kaum muslimin, memberi mereka pertolongan untuk berpegang kepada agama-Nya yang lurus serta mampu mempraktekkannya dan dijadikan sebagai pedoman dalam hidupnya. Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. 

Muhammad Saifudin Hakim. Rujukan : 1) I’anatul Mustafiid I/189-204, Syaikh Shalih Fauzan; 2) Taisir Karimir Rahman; Syaikh Abdurrahman As-Sa’di; 3) Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik, H. Mahrus Ali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar